Menyisir dan Menyasar Aurat Perempuan

MENYISIR DAN MENYASAR AURAT PEREMPUAN

Oleh:

Eunis Khoerunnisa, S. Sos. I., M. Ag

(Umi Sasya)

Dosen STID Sirnarasa

MENYISIR DAN MENYASAR AURAT PEREMPUAN

Oleh:

Eunis Khoerunnisa, S. Sos. I., M. Ag

(Umi Sasya)

Dosen STID Sirnarasa

Segala sesuatu yang menyangkut perempuan pasti cantik dan menarik untuk dibahas. Salah satunya adalah masalah aurat dan batasannya, juga bagaimana pakaian yang harus dikenakan oleh kaum perempuan untuk menutup auratnya.

“Kecuali yang biasa tampak” adalah penggalan ayat tentang menutup aurat. Memahami kontroversi ayat tantang menutup aurat memang tidak mudah, dibutuhkan kecerdasan untuk memahaminya. Akhir akhir ini kita dihebohkan dengan pernyataan Ibu Negara, DR. Hj. Sinta Nuriyah yang mengundang sebagian netizen bereaksi keras. Beliau mengatakan tidak ada kewajiban bagi Muslimah mengenakan jilbab, bahkan sebagian kaum netizen sampai tega mengucapkan kata-kata yang tidak pantas dilontarkan kepada istri Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid. Tampaknya sebagian pihak memang belum terbiasa berbeda pendapat dengan santun. Lebih tepat lagi, sebagian kalangan belum terbiasa untuk belajar memahami argumentasi pendapat yang berbeda. Kebanyakan pengen sama, padahal semua sadar berbeda itu indah. Harusnya pahami saja dulu alur argumentasinya, dan kita tidak harus sepakat dengan kesimpulan akhirnya. Tetapi dengan berusaha memahami minimal kita berbaik sangka dan tidak akan keluar caci-maki. Kedepankan prinsip keberagamaan tasammuh atau toleransi terhadap orang lain.

Aurat itu wajib ditutup, yang menjadi pokok persoalan adalah batasan aurat bagi perempuan, rambut, leher, dan atau telinga itu termasuk aurat yang wajib ditutup atau tidak? dan sudah banyak ulama dan cendekiawan yang mendiskusikannya, sebetulnya kita tinggal membaca dan memahaminya. Dan tidak menutup kemungkinan juga untuk berpendapat dengan bertumpu pada dalil dalil yang tentu harus berpegang pada prinsip tawasut, tidak tekstual juga tidak liberal.

Saya hendak menunjukkan cara pandang pihak yang boleh jadi berbeda dengan pandangan mayoritas kita. Jangan buru buru bereaksi apalagi menghukumi dan lantas mencaci maki, fahami saja dulu, setelah itu silahkan dibantah atau dengan argumentatif dan santun, pun ramah gausah marah marah.

Dalam petikan QS an-Nur ayat 31 berbunyi: “janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” Para ulama berdebat apakah perhiasan yang dimaksud dalam ayat di atas. Apakah yang dimaksud ini adalah tubuh perempuan, atau asesoris seperti make up yang nempel diwajah perempuan dan perhiasan sebenarnya seperti klaung, gelang dan cincin.

Kita fokus pada frase “illa ma zhahara minha” yang diterjemahkan oleh Kemenag RI dengan “kecuali yang (biasa) tampak darinya.” Nah, para ulama juga berbeda pandangan mengenai frase ini. Jadi dalam satu cara pandang, petikan ayat ini bermakna: jangan tampakkan tubuh kalian, kecuali apa yang biasa kelihatan. Lalu apa yang biasa kelihatan itu?

Para ulama ada yang berpendapat bahwa yang biasa kelihatan itu: pakaiannya. Artinya, menurut Ibnu Mas’ud semua tubuh wanita memang harus ditutup tidak boleh diperlihatkan kecuali pakaian luarnya yang memang bisa dilihat orang lain. Disini tidak dibahas panjang pendeknya atau longgar tidaknya. Makanya kita harus coba fahami dulu meski tidak harus setuju, bahwa ada perempuan yang rapat menutup seluruh tubuhnya dari atas sampai ke bawah dengan abaya atau baju longgar selonggar longgarnya, ada pula yang menutup semuanya tapi dengan kadar yang biasa saja, karena essensinya adalah menutupi auratnya bukan banyak atau tidaknya bahan atau kain yang dibikin baju dan jilbabnya (ini naluri penjahit, dan bisnisnya, hee) menggunakan kain secukupnya.

Ada lagi yang berpendapat bahwa yang biasa kelihatan itu maksudnya cincin dan gelang. Ada lagi yang bilang itu maksudnya celak mata (eye liner) alis yang dirapikan atau ditebalkan sekedarnya dengan pensil, lipstik, shedow, perona pipi dan dagu atau hena/inai/pacar di tangan dan kaki. Artinya, kalau ada yang pakai jilbab terus dia memakai perhiasan atau make up di atas maka dibenarkan oleh sebagian ulama. Jadi, tidak harus langsung bilang wooow lanjut membullynya.

Menarik bagi kita untuk menyingkap pendapat batasan aurat perempuan ini, ada beberapa pendapat mengenai batasan aurat perempuan terkait tafsiran Qur’an surat An Nur ayat 31, diantaranya adalah:

1. Imam al-Qaffal yang dikutip dalam Tafsir ar-Razi

‎فقال القفال معنى الآية إلا ما يظهره الإنسان في العادة الجارية، وذلك في النساء الوجه والكفان،

Beliau berpendapat bahwa makna ayat “kecuali yang biasa tampak” itu adalah sesuai dengan adat kebiasaan manusia. Nah, untuk kontek jaman dulu bisa dipahami bagi perempuan yang biasa kelihatan secara adat setempat adalah wajah dan kedua telapak tangan.

2. Zamakhsyari dalam kitabnya Tafsir al-Kassyaf juga menyebut alasan adat atau tradisi untuk mengecualikan perintah dalam petikan ayat di atas.

‎وهذا معنى قوله { إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا } يعني إلاّ ما جرت العادة والجبلة على ظهوره والأصل فيه الظهور، وإنما سومح في الزينة الخفية، أولئك المذكورون لما كانوا مختصين به من الحاجة المضطرة إلى مداخلتهم ومخالطتهم، ولقلة توقع الفتنة من جهاتهم، ولما في الطباع من النفرة عن مماسة القرائب، وتحتاج المرأة إلى صحبتهم في الأسفار للنزول والركوب وغير ذلك.

Yang dimaksud dengan pengecualian berdasarkan adat itu adalah sesuatu yang dibutuhkan (hajat), kalau tidak terbuka, akan ada kesulitan dalam interaksi seperti dalam perjalanan saat harus naik turun kendaraan.

3. Imam al-Qasimi dalam kitab tafsirnya, dan begitu juga Tafsir al-Bahrul Muhith juga mengutip penjelasan soal adat ini dari Tafsir al-Kassyaf. Dijelaskan pula kebutuhan seperti saat jual beli, pernikahan, atau kesaksian di mahkamah. Itu semua secara adat dan hajat akan menyulitkan jikalau semua tubuh perempuan ditutup tanpa pengecualian.

Penjelasan diatas menarik sekali karena mengaitkan pemahaman ayat dengan tradisi dan juga kebutuhan. Nah, soal adat dan hajat ini dipastikan kemudian menjadi celah untuk memahami ayat di atas dalam konteks relasi, profesi maupun interaksi kaum perempuan di jaman modern ini. Akan tetapi bagi yang mengatakan tidak bisa, maka tidak ada lagi kelonggaran kelongraan.

4. Tafsir al-Munir oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili memberi informasi menarik

‎وبناء عليه قال الحنفية والمالكية، والشافعي في قول له: إن الوجه والكفين ليسا بعورة، فيكون المراد بقوله: ما ظَهَرَ مِنْها ما جرت العادة بظهوره.
‎وروي عن أبي حنيفة رضي الله عنه: أن القدمين ليستا من العورة أيضا لأن الحرج في سترهما أشد منه في ستر الكفين، لا سيما أهل الريف. وعن أبي يوسف: أن الذراعين ليستا بعورة، لما في سترهما من الحرج.

Mazhab (Hanafi, Maliki dan Imam Syafi’i dalam satu qaul) mengatakan wajah dan telapak tangan bukan termasuk aurat (artinya boleh dibuka sesuai dengan frase illa ma zhahara minha. Yang dimaksud dengan apa yang biasa tampak itu adalah apa yang sudah biasa secara tradisi (adat) untuk kelihatan. Itu sebabnya diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah bahwa telapak kaki itu juga bukan termasuk aurat.

Kenapa demikian? karena kesulitan yang timbul dari menutup kedua telapak kaki itu lebih berat ketimbang menutup kedua telapak tangan, coba kita bayangkan kaum perempuan di pedesaan yang harus terjun ke sawah. Ini berbeda dengan situasi kaum perempuan di perkotaan. Maka adat dan hajat bergeser dan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya.

Bahkan Imam Abu Yusuf, seorang murid senior Imam Abu Hanifah dan Ketua Mahkamah Agung di masa Khalifah Harun ar-Rasyid, berpendapat lebih jauh lagi, yaitu lengan perempuan pun bukan termasuk aurat karena menutupinya akan menimbulkan kesulitan, para pedagang misalnya, atau mereka yang bekerja di pabrik, bahkan banyak kaum perempuan yang bekerja sebagai tekhnisi dan lain sebagainya.

Jadi kalau anda melihat perempuan pakai jilbab tapi tangannya kelihatan jangan buru-buru diceramahin apalagi dimarahin. Dan apalagi membullynya. Boleh jadi mereka memakai salahsatu pendapat para ulama diatas.

Kita melihat betapa para ulama berhati hati dan mencoba memahami ayat di atas dengan pendekatan adat dan hajat. Bisakah pendekatan ini juga dipakai untuk konteks Indonesia, Australia, atau negara lain yang berbeda dengan konteks saat ayat ini turun, sehingga yang dikecualikan untuk terbuka bukan hanya lengan, dan tapak kaki, tapi juga rambut, leher dan telinga?

Kembali lagi, kalau sudah bilang tidak bisa, maka ya sudah tidak ada toleransi dalam berpakaian untuk kaum perempuan apapun profesinya, seberat apapun pekerjaannya, seganas apapun medan yang harus dilaluinya, tetap kudu menutup rapat semua anggota tubuhnya. Tapi kalau kita mencoba memahami apa yang disampaikan oleh para ulama yang memebri kelongaran untuk kaum perempuan dengan berbagai kemudahan untuk kaum perempuan, maka apa yang disampaikan para ulama di atas, dan juga apa yang sudah disampaikan oleh Ibu Sinta Nuriyah baru-baru ini bisa menjadi bahan untuk diskusi lebih lanjut dan akan lebih menarik lagi jika kita bisa diskusi tanpa emosi. Karena pada akhirnya kita tidak harus membenarkan pendapat orang lain dan atau kita harus mengikuti apa yang disampaikan orang lain dalam diskusi, tapi kembali pada prinsip dan keyakinan masing masing. Yang mana yang benar? Wallohu alam, kita hanya diperintahkan untuk berfikir dan melaksanakan perintahnya, adapu urusan selanjutnya sepenuhnya kita serahkan kepada Sang pemilik kita semua.